Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang
pemimpin yang jujur, adil dan bijaksana. Kekuasaan di tangannya berarti kemakmuran
bagi rakyatnya, bukan untuk
dirinya atau keluarganya.
la sangat hati-hati menggunakan uang negara,
agar tak sampai bocor serta jatuh kepada yang bukan haknya. Rakyatnya hidup
dalam kerukunan yang damai, tanpa kebimbangan dan rasa takut menyampaikan keluhan atau kesulitan hidup
mereka. Terutama terhadap tindak tanduk para pejabat pemerintah yang
sering melakukan perbuatan tanpa mempertimbangkan baik buruknya bagi rakyat dan wibawa pemerintah.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz tak ingin melihat rakyat berbuat tidak
senonoh karena
diawali oleh perbuatan para pemimpinnya. Karena itu, ia tidak segan- segan menjatuhkan
hukuman kepada siapapun yang berbuat salah, termasuk kepada orang-orang
kepercayaannya atau keluarganya.
Pada suatu malam, ketika Khalifah Umar bin
Abdul Aziz berada di ruang kerjanya, memenksa catatan keluar masuknya dana BaituI
Mai, terdengar ketukan di
pintu.
Ruang kerja itu diterangi lampu minyak
sekedarnya, hanya cukup terang untuk membaca di dekatnya, tetapi tidak terlalu terang
untuk bercermin di kaca. Khalifah tidfak pernah bercermin kecuali kepada
keteladanan Rasullullah dan para
sahabat Nabi.
"Siapa di luar?" tanya Khalifah tanpa membuka pintu.
"Saya, Ayah," terdengar suara seorang pemuda.
"ada keperluan apa?" tanya Khalifah.
"Saya disuruh Ibu, untuk membicarakan tentang beberapa
masalah."
"Masalah
apa?"
"Buka pintu dulu, Ayah. Izinkan saya
masuk," jawab anaknya, mendesak ingin masuk.
"Terangkan
dulu, apa masalahnya? Soal keluarga, soal masyarakat, atau
soal
negara?" tanya Khalifah masih tetap tidak membukakan pintu untuk anaknya.
"Tentu saja urusan keluarga kita,
Ayah," jawab anaknya keheranan melihat sikap ayahnya.
"Kalau begitu tunggu sebentar," sahut Khalifah dari dalam.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz kemudian
bangkit dari tempat duduknya mendekati satu-satunya lampu minyak di kamar itu, dan
kemudian meniupnya hingga padam. Ruang kerja itu berubah menjadi gelap gulita. Lalu
Khalifah membuka pintu dan
anaknya disuruh masuk.
Pemuda itu semakin heran melihat tingkah
ayahnya. Masak berbicara dalam ruangan yang gelap seperti ini? Apakah ayahnya
sudah bingung atau berubah ingatan? Apakah karena terlalu bekerja keras,
tindakannya menjadi aneh, di
luar kebiasaan orang waras?
Dengan agak was-was dan sedikit rasa takut,
pemuda itu bertanya ingin tahu
kepada ayahnya.
"Ayah, di ruangan ini cuma ada satu
lampu, mengapa ayah padamkan? Apakah
kita akan berbincang-bincang dalam gelap?"
"Benar. Kalau kita berbicara di
dalam kamar ini, kita akan berbicara dalam keadaan gelap," jawab Khalifah.
"Mengapa,
Ayah?" "Apakah kau tahu kamar apa
ini?" "Kamar kerja Ayah." "Siapakah ayahmu?"
"Amirul Mukminin, Khalifah, seorang
pemimpin negara," jawab anak muda itu semakin tak mengerti. Bahkan ia menjadi
curiga ayahnya telah mabuk kekuasaan,
sehingga hilang akal sehatnya.
"Itulah jawabannya. Karena ayahmu seorang pemimpin, maka kita akan
berbicara tanpa lampu
penerangan di ruangan ini." "Mengapa?"
"Yang akan kita bicarakan adalah
masalah keluarga, sedangkan lampu itu minyaknya dibeli dengan uang negara,
uang rakyat. aku tidak mau urusan keluarga sampai merugikan milik rakyat,
kepunyaan negara. Ruangan ini adalah kamar kerja untuk kepentingan rakyat dan
negara. Tidakkah kau tahu bahwa kekuasaan adalah amanat yang akan dimintai
pertanggungan jawab oleh Allah
kelak di Hari Pembalasan?"
Mendengar penjelasan
ayahnya, barulah pemuda itu mengerti tentang apa yang dilakukan ayahnya. Yang
tak mau merugikan rakyat dan negara karena urusan pribadinya
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !